Di salah satu lereng gunung Warqan yang terletak dekat dengan Yatsrib telah lahir seorang anak bernama Abdul Uzza bin Abdun Naham Al-Muzani dari kedua orang tua yang miskin dari kabilah Muzainah. Kelahiran bocah ini sesaat sebelum terbitnya cahaya kebenaran dari Mekkah. Namun ayahnya meninggal dunia saat ia masih kecil. Maka ia pun menjadi anak yatim dan fakir. Akan tetapi ia memiliki seorang paman yang sangat kaya dan belum mempunyai anak yang dapat mewarisi hartanya. Ia begitu senang dengan keponakannya ini, seolah dia adalah anaknya sendiri.
Al-Muzani tumbuh dewasa dengan jiwa yang bersih dan fitrah yang suci. Namun demikian dia belum pernah mendengar kabar tentang agama yang baru, dan ia tidak mengetahui sedikitpun informasi tentang pembawa agama ini yaitu Muhammad bin Abdullah. Hal itu terus berlangsung sampai kota Yatsrib merayakan hari bergembiranya dengan hijrahnya Rosululloh ﷺ ke sana.
Maka mulailah Al-Muzani mengikuti informasi tentang diri Rosululloh ﷺ dan ia terus memantaunya. Sering kali ia berdiam diri sepanjang hari di tengah jalan menuju Madinah untuk bertanya kepada orang yang menuju ke sana atau kepada orang yang baru saja dari sana tentang agama baru dan para pengikutnya. Iapun sering menanyakan tentang Nabi ﷺ dan informasi tentang dirinya, hingga Alloh ﷻ berkenan melapangkan dadanya yang suci untuk menerima Islam dan membuka hatinya untuk menyerap cahaya iman. Maka ia pun masuk Islam dengan mengikrarkan kalimat syahadat. Hal itu terjadi, sebelum ia bertemu langsung Rosululloh ﷺ. (Serial Salafush Sholih: Abdulloh Al-Muzani Rodhiyallohu’anhu)
Al-Muzani menyembunyikan keislamannya dari kaumnya dan dari pamannya. Ia sering pergi ke sebuah lereng yang jauh untuk beribadah kepada Alloh ﷻ yang jauh dari pandangan manusia. Ia amat menantikan dengan sangat hari di mana pamannya akan masuk Islam dan agar ia dapat mengumumkan keislamannya.
Ketika pemuda ini merasa telah cukup lama menahan kesabaran, dan pamannya semakin jauh dari Islam serta sudah banyak sekali peperangan yang dilakukan Rosululloh ﷺ yang telah meninggalkannya satu demi satu, maka ia mengambil keputusan untuk menghadap pamannya dengan berkata: “Paman, Aku sudah lama sekali menunggumu agar engkau masuk Islam hingga habis kesabaranku. Jika engkau berkenan masuk Islam agar Alloh menetapkan kebahagiaan bagimu maka itu amat baik untukmu. Jika engkau tidak berkenan, maka izinkanlah aku untuk mengumumkan keislamanku di depan manusia. Begitu ucapan pemuda ini mampir di telinga pamannya, maka sang paman langsung emosi dan berkata: “Aku bersumpah demi Latta dan Uzza, jika engkau masuk Islam maka aku akan mengambil semua yang ada di tanganmu yang pernah aku berikan, dan aku akan membiarkanmu hidup miskin. Aku tidak akan peduli bila kau membutuhkan atau kelaparan!”
Ancaman ini tidak menggentarkan al-Muzani. Ia tidak ragu dengan tekadnya. Maka pamannya meminta bantuan kaumnya untuk menghadapinya. Mereka mengancam dan merayunya agar kembali kepada agamanya. Ia menjawab dengan tegas: “Lakukanlah segala yang kalian inginkan, dan aku akan tetap menjadi pengikut Muhammad, meninggalkan penyembahan batu dan berpaling kepada menyembah Alloh!”
Maka pamannya mengambil kembali apa yang telah diberikan kepadanya. Ia juga tidak memberikan pertolongannya dan mengharamkan dirinya untuk berbuat baik kepada pemuda ini lagi. Dan ia tidak menyisakan apa-apa untuk pemuda ini selain pakaian yang menutupi auratnya saja. (Serial Salafush Sholih: Abdulloh Al-Muzani Rodhiyallohu’anhu)
Berangkatlah Al-Muzani untuk berhijrah demi menyelamatkan agamanya menuju Alloh dan Rasul-Nya. Ia pergi meninggalkan kampung halamannya. Ia berpaling dari kekayaan dan kenikmatan yang dimiliki oleh pamannya, dan ia berharap akan mendapatkan ganjaran dan pahala dari sisi Alloh ﷻ. Ia menyusuri langkah menuju Madinah dengan didorong oleh kerinduan yang sudah mencabik-cabik hatinya. Begitu ia hampir tiba di Yatsrib maka ia merobek bajunya menjadi dua bagian. Bagian pertama ia jadikan sebagai sarung dan satunya lagi ia jadikan pakaian. Kemudian ia menuju masjid Rosululloh ﷺ dan menginap di sana pada malam itu. Begitu fajar menjelang, ia berdiri dekat pintu kamar Nabi ﷺ. Ia mengawasi –dengan kerinduan dan kecintaan- munculnya Nabi ﷺ dari kamar Beliau.
Begitu pandangannya melihat ke arah Nabi ﷺ, maka melelehlah air mata kebahagiaan dan ia merasa seolah hatinya hendak meloncat dari dadanya untuk memberikan hormat dan salam kepada Beliau. Begitu sholat telah selesai dikerjakan, Nabi ﷺ sebagaimana biasa memperhatikan wajah-wajah orang yang hadir, dan akhirnya beliau melihat pemuda Al-Muzani ini dan bertanya: “Dari suku mana engkau, wahai pemuda?” Maka pemuda tadi menyebutkan nasabnya. Rasul bertanya kepadanya: “Siapa namamu?” Ia menjawab: “Abdul Uzza (Hamba Uzza).” Rasul membalas: “Ganti dengan Abdullah (Hamba Alloh)!”
Kemudian Rosululloh mendekat ke arahnya dan bersabda: “Tinggallah di dekat kami, dan bergabunglah bersama para tamu kami!” Maka sejak saat itu, semua manusia memanggilnya dengan nama Abdullah. Dan para sahabat Rasul ﷺ memberinya gelar dengan Dzul-Bijadain setelah mereka melihat ‘bijadain dan mereka tidak mau menceritakannya. Bijadain ini pun lebih terkenal dalam sejarah.
Kebahagiaan Dzul Bijadain tak dapat dibayangkan saat ia menjadi orang yang tinggal dekat dengan Rosululloh ﷺ dan senantiasa mengikuti majlis beliau. Ia turut serta shalat dibelakang Beliau. Menyerap dari seluruh petunjuk Beliau. Dan puas dengan akhlak Beliau yang begitu mulia. Dunia dulu pernah memanggil-manggilnya, namun ia telah menulikan telinganya untuk mendengarkan suara dunia. Dia malah menuju akhirat yang ia cari lewat jalan apa saja: Ia mencari akhirat dengan do’a yang selalu ia panjatkan dengan rasa takut dan khusyuk. Sehingga para sahabat menamakannya sebagai Al-Awwah (Orang yang sering merintih saat do’a karena takut kepada Alloh). Ia mencari akhirat dengan Al-Qur’an. Sehingga ia tidak pernah berhenti menebarkan aroma semerbak ayat-ayat Al-Qur’an di seluruh penjuru masjid Rosululloh ﷺ. Ia juga mencari akhirat dengan berjihad dan ia tidak pernah terlewat dari satu pun peperangan yang pernah dilakukan oleh Rosululloh ﷺ.
Dalam perang Tabuk, Dzul-Bijadain meminta Rosululloh ﷺ berdo’a untuknya agar ia diberikan syahadah (mati sebagai syahid). Namun Rosululloh ﷺ mendo’akan agar darah Dzul-Bijadain terjaga dari pedang pasukan kafir. Maka ia berkata kepada Rosululloh: “Demi ibu dan bapakku, ya Rosululloh. Bukan ini yang aku inginkan.” Maka Rosululloh ﷺ bersabda: “Jika engkau berangkat berjuang di jalan Alloh, kemudian engkau sakit dan mati, maka engkau akan dicatat sebagai seorang syahid. Jika hewan kendaraanmu mengamuk dan engkau pun jatuh darinya sampai gugur, maka engkau pun syahid karenanya.”
Tidak berselang satu hari sejak pembicaraan ini, Al-Muzani terserang demam yang menyebabkan ia meninggal dunia. Ia meninggal dalam kondisi berhijrah karena Alloh, jauh dari keluarga dan kerabat dan terasing dari kampung halaman. (Serial Salafush Sholih: Abdulloh Al-Muzani Rodhiyallohu’anhu)
Para sahabat yang mulia telah mengantarkan jasadnya ke kubur. Rosululloh ﷺ pun turun ke lubang untuk menguburkannya, lalu menempatkannya di dalam tanah dengan kedua tangan beliau yang mulia. Yang membawa jasadnya dari luar dan mengantarkannya kepada Rosululloh yang menunggu di bawah kubur adalah Abu Bakar dan Umar, sehingga Rasul berkata kepada keduanya: “Dekatkan kepadaku saudara kalian ini!” Maka keduanya melepaskan tubuh Al-Muzani hingga sampai ke tangan Rosululloh ﷺ.
Abdullah bin Mas’ud rodhiyallohu’anhu berdiri memperhatikan pemandangan semua ini. Ia berkata: “Andai saja aku yang menjadi penghuni lubang kubur ini. Demi Alloh, aku ingin sekali seperti dia, padahal aku telah masuk Islam 15 tahun lebih dahulu darinya.”