ABDULLOH BIN UMMI MAKTUM
Mendapat Tekanan dan Siksa
Abdulloh bin Ummi Maktum rodhiyallohu’anhu adalah salah seorang Sahabat Rosululloh ﷺ yang berasal dari suku Quraisy. Beliau mempunyai ikatan keluarga dengan Rosululloh ﷺ, yaitu anak dari paman Ummul Mu’minin Khodijah rodhiyallohu’anha. Ibunya bergelar ‘Ummu Maktum’ karena Abdulloh rodhiyallohu’anhu terlahir dalam keadaan buta total. Ibnu Ummi Maktum menyaksikan ketika cahaya Islam pertama kali terpancar di kota Mekkah. Hatinya lapang menerima Islam. Beliau termasuk orang yang pertama masuk Islam. (Keteguhan Abdulloh bin Ummi Maktum)
Ibnu Ummi Maktum rodhiyallohu’anhu ikut merasakan berbagai siksaan, penganiayaan dan tindak kekerasan dari kaum Quraisy sebagaimana diderita oleh para Sahabat lainnya pada awal dakwah Rosululloh ﷺ. Tetapi, apakah karena berbagai tindak kekerasan itu beliau rodhiyallohu’anhu menyerah? Tidak..! Beliau tidak pernah mundur dan tidak lemah iman. Bahkan beliau semakin teguh berpegang dengan Islam.
Hijrah Ke Madinah
Ketika tekanan dan penganiayaan dari kaum Quraisy semakin berat, Alloh ﷻ mengizinkan kaum muslimin dan Rosul-Nya hijrah ke Madinah. Ibnu Ummi Maktum rodhiyallohu’anhu bergegas meninggalkan tanah airnya demi menyelamatkan imannya. Dia bersama dengan Mush’ab bin Umair adalah di antara sahabat-sahabat Rosululloh ﷺ yang pertama-tama tiba di Madinah. Mereka segera berdakwah membacakan ayat-ayat al-Qur’an dan mengajarkan Islam kepada penduduk Madinah.
Setelah Rosululloh ﷺ tiba di Madinah beliau mengangkat Abdulloh bin Ummi Maktum rodhiyallohu’anhu dan Bilal bin Robah rodhiyallohu’anhu sebagai muadzin beliau. Mereka bertugas mengumandangkan takbir dan kalimat tauhid lima kali sehari semalam, mengajak masyarakat banyak beramal sholih dan menyeru mereka merebut kemenangan.
Untuk memuliakan Abdullah bin Ummi Maktum rodhiyallohu’anhu, beberapa kali Rosululloh ﷺ mengangkatnya menjadi wali kota Madinah menggantikan beliau apabila beliau meninggalkan kota. Tujuh belas kali jabatan tersebut dipercayakan kepada Ibnu Ummi Maktum. Salah satunya ketika meninggalkan kota Madinah untuk membebaskan kota Makkah dari kekuasaan kaum Quraisy.
Ayat Pengecualian
Setelah perang Badar, Alloh menurunkan ayat-ayat Al-Qur’an, mengangkat derajat kaum muslimin yang berangkat pergi berjihad fi sabilillah. Alloh melebihkan mereka yang pergi berperang atas orang-orang yang tidak berperang dan mencela orang yang tidak berangkat karena ingin bersantai-santai. Ayat-ayat tersebut sangat berkesan di hati Ibnu Ummi Maktum rodhiyallohu’anhu. Tetapi baginya sukar mendapatkan kemuliaan tersebut karena dia buta.
Lalu dia berkata kepada Rosululloh ﷺ: “Wahai Rosululloh! Seandainya aku tidak buta, tentu aku pergi berperang.” Kemudian dia berdo’a memohon kepada Alloh dengan hati penuh tunduk, semoga Alloh menurunkan pula ayat-ayat mengenai orang-orang yang keadaannya cacat (memiliki uzur) seperti dia, tetapi hati mereka ingin sekali ikut berperang. Dia senantiasa berdo’a dengan kerendahan hati.
Tidak berapa lama kemudian Alloh mengabulkan do’anya dengan menurunkan ayat Al-Qur’an :
لَا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ…
“Tidaklah sama antara orang mukmin yang duduk (tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwa mereka.” (QS. An-Nisa: 95)
Turunlah pengecualian yang dinantikan Ibnu Ummi Maktum. (Keteguhan Abdulloh bin Ummi Maktum)
Tugas dalam Jihad
Namun meskipun Alloh ﷻ telah memberikan udzur kepada Ibnu Ummi Maktum dan orang-orang yang terhalang karena cacat seperti beliau untuk tidak berjihad, beliau enggan bersantai-santai bersama orang-orang yang tidak ikut berperang. Beliau tetap membulatkan tekad untuk ikut berperang fi sabilillah. Tekad itu timbul dalam dirinya karena jiwa yang besar. Beliau sangat bersemangat untuk ikut berperang, bahkan menetapkan sendiri tugasnya di medan perang. “Tempatkan aku di antara dua barisan sebagai pembawa bendera. Aku akan memegangnya erat-erat untuk kalian. Aku buta, karena itu aku pasti tidak akan lari.”
Pada tahun keempat belas Hijriyah, Khalifah Umar bin Khothob rodhiyallohu’anhu memutuskan akan memasuki Persia dengan perang yang menentukan. Beliau rodhiyallohu’anhu memerintahkan segenap Gubernur dan pembesar dalam pemerintahannya. “Jangan ada seorang pun yang ketinggalan, baik orang-orang bersenjata, atau yang mempunyai kuda, atau yang berani, atau berpikiran tajam, hadapkan semuanya kepadaku segera mungkin!”
Maka berkumpullah kaum Muslimin di Madinah. Mereka datang dari segala penjuru memenuhi panggilan Khalifah Umar. Di antara mereka terdapat seorang prajurit yang buta, dialah Abdullah bin Ummi Maktum rodhiyallohu’anhu.
Khalifah Umar mengangkat Sa’ad bin Abi Waqqash rodhiyallohu’anhu menjadi panglima pasukan yang besar itu. Kemudian Khalifah memberi instruksi dan pengarahan kepada Sa’ad rodhiyallohu’anhu.
Setelah pasukan besar itu sampai di Qadisiyah, Ibnu Ummi Maktum rodhiyallohu’anhu memakai baju besi dan perlengkapan yang sempurna. Beliau tampil sebagai pembawa bendera kaum Muslimin dan berjanji akan senantiasa mengibarkannya atau mati di samping bendera itu. (Keteguhan Abdulloh bin Ummi Maktum)
Meraih Syahid
Pada hari ketiga perang Qadisiyah, perang berkecamuk dengan hebat dan belum pernah disaksikan sebelumnya. Kaum muslimin berhasil memenangkan pertempuran tersebut dengan kemenangan paling besar. Maka pindahlah kekuasaan kerajaan Persia yang besar ke tangan kaum muslimin. Runtuhlah mahligai termegah. Berkibarlah bendera tauhid di bumi penyembah berhala itu. Kemenangan yang meyakinkan itu dibayar dengan darah dan nyawa ratusan syuhada. Di antara mereka yang syahid adalah Abdulloh bin Ummi Maktum rodhiyallohu’anhu. Beliau ditemukan terkapar di medan perang dengan berlumuran darah dan memeluk bendera kaum muslimin. (Keteguhan Abdulloh bin Ummi Maktum)