‘Amin’nya Umat Muhammad
Amir bin Abdullah bin Al-Jarroh dipanggil dengan nama Abu Ubaidah. Beliau bergelar Amin (orang yang sangat terpercaya) dari ummat Muhammad. Beliau termasuk orang-orang pertama yang masuk Islam. Abu Ubaidah ikut mengalami segala penderitaan yang dirasakan kaum muslimin selagi berada di Mekkah, namun ia tetap teguh menghadapi ujian dan senantiasa mentaati Alloh dan Rosul-Nya dalam segala kondisi.
Akan tetapi ujian yang diderita oleh Abu Ubaidah bin Al-Jarroh pada perang Badr adalah sebuah penderitaan yang tidak dapat digambarkan oleh siapapun. Ketika perang Badr, Abu Ubaidah menyerang musuh dengan begitu berani. Ia berputar-putar di medan laga seolah tidak takut mati. Para penunggang kuda kaum Quraisy menjadi gentar dibuatnya dan mereka berusaha menjauhinya setiap kali bertemu. Tetapi ada seseorang di antara mereka yang selalu mengajak duel Abu Ubaidah ke mana saja ia pergi, dan Abu Ubaidah sendiri selalu menjauhkan diri darinya. Orang tersebut akhirnya menutup semua jalan bagi Abu Ubaidah, dan berdiri membatasi ruang geraknya. Saat Abu Ubaidah sudah merasa geram, maka ia melayangkan pedangnya ke arah kepala orang tadi sampai terbelah dua dan akhirnya orang itu tewas di hadapan Abu Ubaidah.
Orang yang tewas itu adalah Abdullah bin Al-Jarroh ayah dari Abu Ubaidah. Ia tidaklah membunuh ayahnya, akan tetapi ia membunuh kemusyrikan yang berada dalam diri ayahnya. Maka Alloh ﷻ menurunkan sebuah ayat tentang Abu Ubaidah Abu Ubaidah bin Al-Jarroh dan ayahnya yang berbunyi: “Kamu tidak akan mendapati kaum yang beriman kepada Alloh dan hari akhirat saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Alloh dan Rosul-Nya, sekalipun orang-orang itu adalah bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang Alloh telah tanamkan keimanan dalam hati mereka dengan pertolongan yang datang dari-Nya….” (QS. Al-Mujadilah [58] : 22)
Bagi Abu Ubaidah, hal ini bukanlah sesuatu yang menakjubkan. Kekuatan imannya kepada Alloh dan pembelaannya kepada Islam, dan amanah kepada ummat Muhammad telah mencapai sebuah posisi yang dicita-citakan oleh jiwa yang besar di sisi Alloh.
Muhammad bin Ja’far berkisah: Sebuah rombongan Nasrani datang kepada Nabi ﷺ dan berkata: “Wahai Abu Qasim, utuslah kepada kami salah seorang sahabatmu untuk memutuskan tentang harta kami yang membuat kami berselisih, karena kalian adalah orang-orang yang kami sukai.”
Rosululloh ﷺ langsung menjawab: “Datanglah kepadaku malam hari, nanti aku akan mengirimkan seorang yang kuat dan terpercaya kepada kalian.” Umar bin Khottob berkata: “Maka aku pergi berangkat sholat Zuhur lebih awal dengan harapan aku menjadi orang yang ditunjuk untuk menyelesaikan perkara ini. Begitu Rosululloh menyelesaikan sholatnya, beliau melihat ke kanan dan ke kiri. Aku berusaha meninggikan badanku agar terlihat olehnya. Ia tetap saja menyisirkan pandangannya kepada kami sampai beliau melihat ke arah Abu Ubaidah. Beliau langsung memanggilnya seraya bersabda: ‘Pergilah kepada mereka. Putuskanlah perkara yang tengah mereka perselisihkan dengan benar!’ dan Abu Ubaidah pun pergi ke tempat mereka.”
Abu Ubaidah Abu Ubaidah bin Al-Jarroh bukan saja orang yang amanah, akan tetapi ia juga merupakan orang yang sanggup mengkombinasikan kekuatan dengan amanah. Kekuatan yang dimilikinya ini sering kali muncul dalam banyak kesempatan: Suatu hari Rosululloh mengutus sekelompok orang dari para sahabatnya untuk mencegat sebuah kafilah suku Quraisy. Dan Rosululloh menunjuk Abu Ubaidah sebagai Amir (pemimpin) mereka. Rosululloh membekali mereka dengan sekantong kurma saja. Abu Ubaidah memberikan hanya satu kurma saja kepada masing-masing sahabatnya dalam sehari dan semuanya merasa cukup dengan makanan seperti itu hingga malam hari.
Dalam perang Uhud saat kaum muslimin mengalami kekalahan dan kaum musyrikin mulai berteriak mencari Rosululloh ﷺ, saat itu Abu Ubaidah adalah salah seorang dari pasukan yang melindungi Rosululloh ﷺ dengan dada mereka dari serangan tombok musyrikin. Saat perang sudah usai, gigi geraham Rosululloh pecah. Kening Beliau memar dan di pipi Beliau ada dua buah biji baja yang menempel. Abu Bakar rodhiyallohy’anhu menghampiri Rosululloh ﷺ untuk mencabutnya dari pipi Beliau. Lalu Abu Ubaidah berkata kepada Abu Bakar: “Aku bersumpah kepadamu, biarkan aku saja yang melakukannya.” Maka Abu Bakar pun membiarkan Abu Ubaidah melakukannya. Lalu Abu Ubaidah merasa khawatir jika ia mencabut dengan tangannya akan membuat Rosululloh ﷺ sakit. Maka Abu Ubaidah menggigit salah satu biji baja tadi dengan gigi serinya dengan kuat. Ia berhasil mengeluarkan biji baja tersebut dan satu gigi serinya pun ikut tanggal. Kemudian ia menggigit biji baja yang kedua dengan gigi serinya yang lain, kali ini ia pun berhasil mengeluarkannya dan satu giginya lagi-lagi ikut tanggal. Abu Bakar berkata: “Abu Ubaidah adalah manusia yang paling bagus dalam menanggalkan giginya.”
Ketaatannya Tak Diragukan
Saat hari Tsaqifah (hari saat Abu Bakar di bai’at menjadi khalifah di Tsaqifah Bani Sa’idah), Umar berkata kepada Abu Ubaidah: “Ulurkan tanganmu agar dapat aku bai’at, sebab aku pernah mendengar Rosululloh ﷺ bersabda: ‘Setiap umat memiliki seorang Amin (orang yang dipercaya), dan engkau adalah Amin umat ini).” Abu Ubaidah menjawab: “Aku tidak akan maju di hadapan seorang pria yang pernah diperintahkan Rosululloh ﷺ untuk menjadi imam kita dalam sholat, dan kita mempercayainya sampai Rosululloh ﷺ wafat.” Kemudian Abu Bakar pun dibai’at dan Abu Ubaidah adalah penasihat dan kawan Abu Bakar yang terbaik. Kemudian Abu Bakar menyerahkan khilafah setelahnya kepada Umar bin Khottob. Abu Ubaidah juga tunduk dan taat kepada Umar. Ia tidak pernah melanggar perintah Umar kecuali satu kali saja. Hal itu terjadi saat Abu Ubaidah sedang memimpin pasukan muslimin di negeri Syam. Pasukan yang dipimpinnya berhasil menaklukkan sungai Eufrat di daerah timur dan Asia Kecil di utara. Pada saat itu di negeri Syam sedang mewabah penyakit Thaun yang belum pernah diketahui oleh manusia saat itu sebelumnya. Telah banyak orang yang meninggal karenanya. Maka Umar bin Khottob berinisiatif untuk mengutus seorang utusan kepada Abu Ubaidah Abu Ubaidah bin Al-Jarroh dengan membawa sebuah surat yang berbunyi: “Aku memerlukan bantuanmu tanpa interupsi sedikitpun darimu. Jika suratku ini datang kepadamu pada malam hari, maka dengan segera aku memintamu untuk datang kepadaku tanpa perlu menunggu datangnya shubuh. Jika suratku ini datang kepadamu pada waktu siang. Aku meminta segera kepadamu untuk datang kepadaku tanpa perlu menunggu hingga senja tiba.”
Begitu Abu Ubaidah menerima surat dari Umar rodhiyallohu’anhu, ia berkata: “Aku mengerti kepentingan Amirul Mukminin terhadap diriku. Ia menginginkan agar aku tetap hidup meski yang lainnya binasa.” Lalu ia menuliskan sebuah surat kepada Amirul Mukminin yang berbunyi: “Wahai Amirul Mukminin, Aku mengerti kepentinganmu terhadap diriku. Aku kini sedang bersama para tentara muslimin dan aku tidak ingin menjaga diriku agar terhindar dari penyakit yang mereka derita. Aku tidak ingin meninggalkan mereka sampai Alloh menentukan keputusan-Nya bagi diriku dan mereka. Jika suratku ini telah sampai kepadamu, maka izinkan aku untuk tetap tinggal di sini.”
Begitu Umar membaca surat Abu Ubaidah, ia langsung menangis dan matanya langsung sembab. Maka orang yang berada di sekelilingnya bertanya: “Apakah Abu Ubaidah telah meninggal, wahai Amirul Mukminin?” Ia menjawab: “Tidak, akan tetapi kematian telah mengintainya.” Benar dugaan Umar, karena tidak lama kemudian Abu Ubaidah terkena Thoun. Begitu menjelang kematian ia berwasiat kepada tentaranya: “Aku berwasiat kepada kalian, jika kalian menerimanya kalian akan senantiasa berada dalam kebaikan: Dirikanlah sholat, tunaikan zakat, jalankan puasa Ramadhan, bersedekahlah, berhaji dan berumrahlah, saling wasiat, dan taatlah kepada pemimpin kalian dan jangan kalian melanggarnya! Janganlah dunia membuat kalian lalai. Karena meski seseorang diberi umur 1000 tahun maka pastilah ia akan merasakan kondisi seperti yang kalian lihat pada diriku ini. Alloh telah menetapkan kematian kepada anak Adam dan mereka semua akan mati. Yang paling bijak di antara mereka adalah yang paling taat kepada Tuhannya, dan yang paling mengerti akan hari pembalasan.” Kemudian ia menoleh ke arah Muadz rodhiyallohu’anhu seraya berkata: “Ya Muadz, imamilah manusia untuk sholat!” Begitu ia menghembuskan nafas terakhirnya, Muadz pun berdiri dan berseru: “Wahai manusia, kalian telah dibuat kaget oleh seorang pria yang demi Alloh aku tidak pernah tahu bahwa aku pernah melihat seorang pria yang begitu lapang dadanya, senantiasa menjauhi kedengkian, dan amat berpesan tentang ummat ini yang lebih baik darinya. Maka mohonlah rahmat Alloh baginya dan semoga Alloh merahmati kalian!”