Adi bin Hatim Rodhiyallohu’anhu
Adi bin Abi Hatim At-Tho’i adalah orang yang terkenal sangat pemurah. Ia mewarisi kepemimpinan bapaknya karena Tho’i mengangkatnya sebagai pemimpin suku. Kaum Tho’i mengeluarkan seperempat harta sebagai pajak kepada Adi sebagai imbalan bagi kepemimpinannya.
Tatkala Rosululloh ﷺ memproklamirkan da’wah Islam, bangsa Arab banyak yang masuk Islam. Adi melihat pengaruh Rosululloh ﷺ adalah suatu ancaman yang akan melenyapkan kepemimpinannya. Karena itu dia memusuhi Rosululloh dengan keras, padahal dia sendiri belum mengenal pribadi Rosululloh ﷺ yang mulia itu. Hampir dua puluh tahun lamanya dia memusuhi Islam, sampai pada suatu hari hatinya lapang menerima Islam sebagaimana ia ceritakan:
Tidak seorang pun bangsa Arab yang lebih benci kepada Rosululloh daripada aku ketika aku mendengar da’wahnya. Aku seorang pemimpin yang dihormati dan tinggal dengan kaumku dalam daerah kekuasaanku. Aku memungut pajak dari mereka seperempat dari penghasilan mereka. Karena itu ketika aku mendengar da’wah Rosululloh aku membencinya. Ketika pengaruh dan kekuatan Rosululloh ﷺ tambah besar, aku berkata kepada budak gembalaku untuk menyiapkan kendaraan dan memberitahukan kepadaku jika mendengar tentara Muhammad atau ekspedisinya menjejakkan kaki di negeri kami.
Pada suatu pagi budakku mengabarkan bahwa bendera tentara Muhammad telah terlihat di sekeliling kampung. Maka aku memanggil istri dan anak-anakku untuk segera berangkat ke negeri yang dianggap aman yaitu Syam. Di sana kami bergabung dengan orang-orang seagama dengan kami dan berternpat tinggal di rumah mereka. Aku terburu-buru mengumpulkan semua keluargaku. Setelah melewati tempat yang mencemaskan, ternyata ada di antara keluargaku yang tertinggal. Saudara perempuanku tertinggal di negeri kami Nejed beserta penduduk Tho’i yang lain dan itu sangat mencemaskan hatiku.
Ketika berada di Syam, aku mendapat berita tentara Muhammad menyerang negeri kami. Saudara perempuanku tertangkap beserta sejumlah wanita menjadi tawanan. Kemudian mereka dibawa ke Yatsrib. Di sana mereka ditempatkan dalam sebuah penjara dekat pintu masjid. Ketika Rosululloh lewat, saudaraku menyapa, “Ya Rosululloh! Bapakku telah tiada. Yang menjaminku telah lenyap. Maka limpahkanlah kepadaku karunia yang dikaruniakan Alloh kepada Anda.”
Rosululloh bertanya, “Siapa yang menjamin Anda? Jawab Saudaraku, “Adi bin Hatim!” Rosululloh berkata, “Dia lari dari Alloh dan Rosul-Nya”. Lalu Rosululloh ﷺ pun pergi meninggalkannya. Hal yang sama terjadi sampai tiga kali.
Pada hari ketiga saudaraku berdiri menghampiri Rosululloh seraya berkata, “Wahai Rosululloh! Bapakku telah meninggal. Yang menjaminku telah lenyap, maka limpahkanlah kepadaku karunia yang dikaruniakan Alloh kepada Anda.”
Jawab Rosululloh, “Saya penuhi permintaanmu!”
Kata saudaraku, “Saya ingin pergi ke Syam menemui keluargaku di sana.”
Kata Rosululloh, “Engkau jangan terburu-buru pergi ke sana, sebelum engkau dapatkan orang yang dapat dipercaya dari kaummu untuk mengantarmu. Bila telah kau dapatkan, beritahukanlah kepadaku.”
Setelah orang yang dipercaya untuk membawanya ke Syam itu datang, saudaraku mengabarkan kepada Rosululloh. Katanya, “Wahai, Rosululloh! Telah datang serombongan kaumku yang dipercaya dan mereka menyanggupi mengantarku. Rosululloh memberi saudaraku pakaian, unta untuk kendaraan dan belanja secukupnya. Maka berangkatlah dia beserta rombongan tersebut.
Kata Adi selanjutnya, “Kami selalu mencari-cari berita tentang saudaraku itu dan menanti kedatangannya. Kami hampir tidak percaya apa yang diberitakan kepada kami tentang Muhammad dengan segala kebaikan beliau terhadap saudaraku, di samping rasa kagumku kepada beliau.”
Pada suatu hari ketika aku sedang duduk di lingkungan keluargaku, tiba-tiba muncul seorang wanita dalam sekedup menuju ke arah kami. Kataku, “Nah, itu anak perempuan Hatim!” Dugaanku betul. Dia adalah saudaraku yang ditunggu-tunggu. Setelah turun dari kendaraan, dia segera menghampiriku seraya berkata, “Anda tinggalkan kami, Anda zalim! Istri dan anak-anak Anda, Anda bawa. Tetapi bapak dan saudara perempuan Anda serta yang lain-lain, Anda tinggalkan.” Lalu aku berhasil menenangkannya. Setelah itu kuminta dia menceritakan pengalamannya.
Selesai bercerita, aku berkata kepadanya, “Engkau wanita cerdik dan pintar. Bagaimana pendapatmu tentang orang yang bernama Muhammad itu?” Jawabnya, “Menurut pendapatku, sebaiknya Anda temui dia segera. Jika dia Nabi maka beruntunglah yang paling dahulu mendatanginya, dan jika dia raja, tidak ada hinanya Anda berada di sampingnya. Anda adalah seorang raja pula.”
Kata `Adi, “Maka aku pergi ke Madinah menemui Rosululloh. Aku mendengar berita bahwa beliau pernah berkata, “Sesungguhnya aku berharap semoga Adi bin Hatim masuk Islam di hadapan saya.”
Aku masuk ke majlis Nabi ﷺ ketika beliau sedang berada dalam masjid. Aku memberi salam kepadanya. Mendengar salamku beliau bertanya, “Siapa itu?”
Jawabku, “Adi bin Hatim!” Rosululloh ﷺ berdiri menyongsongku. Beliau menggandeng tanganku lalu dibawanya aku ke rumahnya. Ketika beliau membawaku, tiba-tiba seorang wanita tua yang fakir sedang menggendong seorang bayi menemuinya minta sedekah. Wanita tua itu berbicara dengan beliau menyampaikan kesulitan hidupnya. Beliau berhenti mendengarkan wanita itu sampai selesai, dan aku pun tegak menunggu. Aku berkata kepada diriku, “Demi Alloh! Ini bukan kebiasaan para raja!”
Kemudian beliau menggandeng tanganku dan bersama-sama ke rumah beliau. Tiba di rumah, beliau mengambil sebuah bantal kulit yang diisi dengan sabut kurma, lalu diberikannya kepadaku. Beliau berkata, “Silakan Anda duduk di atas bantal ini”.
Aku malu. Karena itu aku berkata, “Andalah yang duduk di situ.”
Jawab Rosululloh, “Anda lebih pantas. Aku pun menuruti kata beliau. Lalu aku duduk di atas bantal. Nabi ﷺ lalu duduk di tanah, karena tidak ada lagi bantal lain. Aku berkata dalam diriku, “Demi Alloh! Ini bukan kebiasaan para raja.”
Kemudian beliau menoleh kepadaku dengan berkata, “Wahai Adi! Sudahkah Anda membandingkan agama yang Anda anut antara Nasrani dan Shabi’ah?”
Jawabku: “Sudah!”
Tanya beliau, “Bukankah Anda memungut pajak dari rakyat Anda seperempat penghasilan mereka. Bukankah itu tidak halal menurut agama Anda?”
Jawabku, “Betul!” Sementara itu aku telah yakin Muhammad ini sesungguhnya Nabi dan Rosululloh.
Kemudian beliau berkata pula, “Wahai Adi! Agaknya Anda enggan masuk Islam karena kenyataan yang Anda lihat tentang kaum muslimin, mereka miskin. Demi Alloh! Tidak lama lagi harta akan berlimpah ruah di kalangan mereka, sehingga akan sulit didapati orang yang mau menerima sedekah. Atau barangkali Anda enggan masuk agama ini karena kaum muslimin sedikit jumlahnya sedangkan musuh-musuh mereka banyak. Demi Alloh! Tidak lama lagi Anda akan mendengar berita seorang wanita dari Qodisiyah mengendarai unta ke Baitulloh tanpa takut kepada siapapun selain kepada Alloh ﷻ. Atau mungkin juga Anda enggan masuk Islam karena ternyata para raja terdiri dari orang-orang yang bukan Islam. Demi Alloh! Tidak lama lagi Anda akan mendengar Istana Putih di negeri Babil (Iraq) direbut kaum muslimin, dan kekayaan Kisra bin Hurmuz pindah menjadi milik mereka.
Aku bertanya kagum, “Kekayaan Kisra bin Hurmuz?”
Jawab beliau, “Ya, kekayaan Kisra bin Hurmuz.”
Adi berkata, “Maka seketika itu juga aku mengucapkan dua kalimat syahadat di hadapan beliau dan aku pun menjadi muslim.”
Adi bin Hatim dikaruniai Alloh usia panjang. Adi menceritakan lagi: “Dua perkara yang dikatakan Rosululloh ﷺ sudah terbukti kebenarannya. Tinggal yang ketiga. Namun itu pasti terjadi. Aku telah menyaksikan seorang wanita berkendaraan unta datang dari Qadisiyah tanpa takut kepada siapapun, sehingga dia sampai ke Baitulloh. Dan aku adalah tentara berkuda yang pertama-tama menyerang masuk ke gudang perbendaharaan Kisra merampas harta kekayaannya. Aku bersumpah demi Alloh, yang ketiga pasti akan terjadi pula. Alloh pasti membuktikan setiap perkataan Nabi-Nya.” Peristiwa yang ketiga terjadi pada masa khilafah Umar bin Abdul Aziz, yaitu ketika kemakmuran merata di kalangan kaum muslimin. Ketika itu setiap orang mencari-cari dengan susah payah orang yang berhak menerima zakat hartanya. Tetapi mereka tidak mendapatkan orang yang mau menerimanya, karena seluruh kaum muslimin telah hidup berkecukupan.