Wahyu Ilahi menjadi cahaya bagi akal untuk memperoleh kebenaran, namun sebagian orang memposisikan akal dengan tidak semestinya sehingga akalnya tercela. Bagaimana kedudukan akal dalam agama? Berikut uraian definisi dan kedudukan akal dalam Islam;
A. Definisi Akal
Akal (اَلْعَقْلُ) berasal dari akar kata (عَقَلَ-يَعْقِلُ-عَقْلاً) yang asalnya bermakna mencegah (اَلْمَنْعُ). Akal memiliki makna yang lain, di antaranya: Pencegahan (اَلْحَجْرُ), Larangan (اَلنَّهْيُ), Tebusan (اَلدِّيَةُ).
Sedangkan menurut istilah, penggunaan akal mempunyai 4 makna yaitu:
- (اَلْغَرِيْزَةُ المُدْرِكَةُ) (insting/naluri yang mampu merasa), yaitu naluri yang dimiliki manusia untuk mengetahui dan memikirkan sesuatu. Ia adalah obyek taklif (pembebanan ibadah) yang dapat membedakan manusia dengan hewan.
- (اَلْعُلُوْمُ الضَّرُوْرِيَّةُ) (ilmu-ilmu pasti/eksakta), yaitu ilmu yang diketahui oleh seluruh orang berakal, seperti pengetahuan tentang hal yang mungkin, yang wajib, dan lain-lain.
- (اَلْعُلُوْمُ النَّظَرِيَّةُ) (ilmu-ilmu teoritis) yang diperoleh melalui penalaran dan pencarian data.
- Kerja-kerja berdasarkan ilmu.
Akal adalah insting yang diciptakan Alloh kemudian diberi muatan pemikiran yang berguna bagi kehidupan manusia yang telah dimuliakan. Tempat akal terletak dalam hati yang merupakan pusat penilaian bagi Alloh terhadap setiap gerak dan aktivitas manusia.
B. Kedudukan Akal dalam Islam.
- Alloh hanya menyampaikan kalam-Nya kepada orang-orang yang berakal, karena hanya mereka yang dapat memahami agama dan syari’at-Nya. (Lihat: QS. Shood [38]: 43)
- Akal merupakan syarat yang harus ada dalam diri manusia untuk dapat menerima taklif (beban kewajiban) dari Alloh. Hukum-hukum syari’at tidak berlaku bagi yang orang gila karena kehilangan akalnya. Sebagaimana sabda Rosululloh: “Pena (catatan pahala dan dosa) diangkat (dibebaskan) dari tiga golongan, di antaranya; orang gila sampai dia kembali sadar (berakal).” (HR. Ahmad, AbuDawud, Nasa’i, Ad-Darimi, Ibnu Hibban, Baihaqi dan Al-Hakim)
- Alloh mencela orang yang tidak menggunakan akalnya. Misalnya celaan Alloh terhadap ahli neraka yang tidak menggunakan akalnya. (Lihat: QS. Al-Mulk: 10)
- Al-Qur’an banyak menggunakan penalaran logika rasional. Misalnya ayat-ayat berikut ini: “Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Alloh, tentulah keduanya itu telah rusak binasa.” (QS. Al-Anbiya’: 22)
- Islam memuji orang-orang yang menggunakan akalnya dalam memahami dan mengikuti kebenaran. (Lihat: QS. Az-Zumar: 17-18)
- Islam sangat menjaga dan mengembangkan akal, karena itu Islam mengharamkan apapun yang dapat menghilangkan akal, baik makanan, minuman, ataupun tindakan. Juga memberikan hukuman khusus berupa cambuk, bagi mereka yang sengaja makan atau minum apapun yang memabukkan.
C. Akal Bukan Sebagai Hakim, Namun Alat Untuk Memahami
Ibnu Abil Izz rahimahullah mengatakan: Banyak hadits Rosululloh ﷺ mutawatir yang menerangkan tentang adanya adzab kubur dan nikmatnya bagi orang yang berhak serta pertanyaan kubur bagi mereka yang mukallaf. Maka kewajibannya adalah meyakini, mengimani kebenarannya dan kita tidak boleh membicarakan tentang gambaran hakikatnya. Akal tidak dibolehkan menerka gambaran hakikatnya, karena akal tidaklah sanggup menyaksikan kecuali apa yang terjadi di dunia ini… [Syarhu Aqîdah Thahâwiyyah, hlm. 399]
D. Akal Tercela
Ibnul Qayyim rahimahullah yang menyebutkan bahwa pendapat akal yang tercela itu ada beberapa macam:
- Pendapat akal yang menyelisihi nash al-Qur’an atau as-Sunnah.
- Berbicara masalah agama dengan prasangka dan perkiraan yang dibarengi dengan sikap menyepelekan mempelajari nash-nash, memahaminya serta mengambil hukum darinya.
- Pendapat akal yang berakibat menolak asma (nama-nama) Allah ﷻ, sifat-sifat dan perbuatan-Nya dengan teori atau qiyas (analogi) yang batil yang dibuat oleh para pengikut filsafat.
- Pendapat yang mengakibatkan tumbuhnya bid’ah dan matinya as-Sunnah.
- Berbicara dalam hukum-hukum syariat sekadar dengan anggapan baik (dari dirinya) dan prasangka. (Lihat I’lam Muwaqqi’in, 1/104—106, al-Intishar, hlm. 21, 24, al-‘Aql wa Manzilatuhu)
E. Ketika Dalil Bertentangan dengan Akal
Sesungguhnya pertentangan akal dengan syariat takkan terjadi manakala dalilnya sahih dan akalnya sehat. Namun terkadang muncul ketidakcocokan akal dengan dalil walaupun dalilnya sahih.
Kalau terjadi hal demikian maka jangan salahkan dalil, namun curigailah akal. Di mana bisa jadi akal tidak memahami maksud dari dalil tersebut atau akal itu tidak mampu memahami masalah yang sedang dibahas dengan benar. Adapun dalil, maka pasti benarnya.
Hal ini berangkat dari ajaran al-Qur’an dan as-Sunnah yang mengharuskan kita untuk selalu kembali kepada dalil. Demikian pula anjuran para sahabat yang berpengalaman dengan Nabi ﷺ dan mengalami kejadian turunnya wahyu. Seperti dikatakan oleh ‘Umar bin al-Khaththab, “Wahai manusia, curigailah akal kalian terhadap agama ini.” (Riwayat ath-Thabarani, lihat Marwiyyat Ghazwah al-Hudaibiyyah, hlm. 177, 301)
Oleh karenanya, Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan, “Jika dalil naqli bertentangan dengan akal, maka yang diambil adalah dalil naqli yang sahih dan akal itu dibuang dan ditaruh di bawah kaki, tempatkan di mana Allah ﷻ meletakkannya dan menempatkan para pemiliknya.” (Mukhtashar as-Shawa’iq, hlm. 82—83 dinukil dari Mauqif al-Madrasah al-‘Aqliyyah, 1/61—63)
Apabila Akal Didahulukan
Jika akal didahulukan, maka akan tergelincir pada sekian banyak bahaya, di antaranya:
- Menyerupai Iblis—semoga Allah ﷻ melaknatinya—ketika diperintahkan untuk sujud kepada Nabi Adam ‘alaihissalam, kemudian ia membangkang dan menentang dengan akalnya. (Lihat: QS. al- A’raf: 12)
- Menyerupai orang kafir yang menolak keputusan Allah ﷻ dengan akal mereka, seperti penentangan mereka terhadap kenabian Nabi Muhammad ﷺ. (Lihat: QS. az-Zukhruf: 31)
- Mengikuti hawa nafsu dan keinginan jiwa. (Lihat: al-Qashash: 50)
- Menyebabkan kerusakan di muka bumi.
- Berkata mengatasnamakan Allah ﷻ dan Rasul-Nya tanpa ilmu. (Lihat: QS. al-Hajj: 8)
- Menyebabkan perbedaan dan perpecahan pendapat.
- Terjatuh dalam keraguan dan bimbang.