PRINSIP-PRINSIP AHLUSSUNNAH WAL JAMA’AH BAG. I
Berikut adalah sebagian besar dari prinsip-prinsip dasar Ahlussunnah wal Jama`ah yang pada hakikatnya adalah prinsip-prinsip Dinul Islam.
- Sumber agama Islam dengan segala seginya adalah wahyu Alloh dalam bentuk al-Qur’an dan Hadits yang shohih.
Dalil prinsip ini adalah Firman Alloh ﷻ:
Alloh ﷻ berfirman: “Apa yang diberikan Rosul kepada kalian maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagi kalian maka tinggalkanlah dan bertaqwalah kepada Alloh. Sesungguhnya Alloh sangat keras hukumanNya.” (QS. al-Hasyr [59]: 7)
Alloh ﷻ berfirman: “Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).” (QS. an-Najm [53]: 4)
Baca artikel lainnya!
Rosululloh ﷺ bersabda: “Hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para khalifah Rasyidin yang mendapat petunjuk setelahku…”. (HR. Abu Dawud)
Rosululloh ﷺ bersabda: “Ketahuilah sesungguhnya aku diberikan al-Qur`an dan yang sejenisnya (Sunnah) bersama-sama dengannya”. (HR. Abu Dawud)
Ini berarti bahwa hadits-hadits Rosululloh ﷺ pun adalah wahyu dari Alloh.
- Ijma` sahabat rodhiyallohu’anhum adalah hujjah syar’iyyah.
Ini berarti bahwa ketika sahabat rodhiyallohu’anhum telah berijma’ pada suatu masalah dalam agama, maka ijma’ itu harus diikuti. Siapa yang melanggarnya akan berdosa dan sesat. Ijma` Sahabat rodhiyallohu’anhum adalah ma’sum, walaupun perorangan mereka tidaklah ma’sum. Ketika keyakinan mereka pada suatu masalah terbagi atas lebih dari satu, maka kita harus mengikuti salah satunya dan tidak boleh menentukan keyakinan lainnya.
Alloh ﷻ berfirman: “Dan barangsiapa yang menentang rosul sesudah jelas kebenaran baginya serta mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam…” (QS. an-Nisa’ [4]: 115)
Orang-orang mu’min di ayat ini adalah Sahabat rodhiyallohu’anhum.
Rosululloh ﷺ bersabda: “Aku wasiatkan kalian (mengikuti) para Sahabatku, lalu orang-orang sesudah mereka, kemudian generasi setelah itu…”.
- Pemahaman al-Qur’an dan Hadits harus sesuai dengan pemahaman sahabat rodhiyallohu’anhum dan metode pemahaman mereka.
Di antara dalil-dalil yang mendukung prinsip ini adalah sebagai berikut:
- Sahabat rodhiyallohu’anhum telah dipuji Alloh ﷻ di banyak ayat suci al-Qur’an. Pujian yang diabadikan sepanjang masa dan tidak diberikan untuk orang-orang sesudah mereka. (Lihat: QS. al-Hasyr [59]: 8-9, QS. al-Imran [3]: 173, QS. al-Fath [48]: 29)
Semua pujian ini menunjukan dengan nyata akan kebenaran manhaj sahabat rodhiyallohu’anhum. Alloh ﷻ tidak mungkin memuji orang-orang dengan manhaj yang tidak diridhoi-Nya.
- Sahabat rodhiyallohu’anhum telah diakui sebagai umat terbaik sepanjang umur dunia ini dan telah diridhoi Alloh ﷻ. (Lihat: QS. ali-`Imron [3]: 110) (QS. al-Fath [48]: 18)
Dengan sendirinya umat yang terbaik adalah umat yang mempunyai manhaj yang terbaik juga.
- Manhaj Sahabat rodhiyallohu’anhum telah dijadikan ukuran standar untuk mengukur keimanan setiap orang. Siapa-siapa yang cocok keimanannya dengan keimanan sahabat rodhiyallohu’anhum maka mereka telah mendapat hidayah dan barangsiapa yang tidak demikian, serta menolak manhaj Sahabat rodhiyallohu’anhum maka mereka telah sesat. (QS. al-Baqoroh [2]: 137)
- Ahlussunnah wal Jama`ah menolak semua bentuk bid’ah, baik bid’ah amaliah, aqidah maupun manhajiyah.
Semua bid’ah dalam agama adalah buruk dan sesat, tidak ada satu bid’ah pun yang hasanah.
(( وَ إِيَّاكُمْ وَ مُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَ كُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ. ))
“Waspadalah kalian terhadap perkara-perkara baru (dalam dien), karena setiap perkara baru adalah bid`ah dan setiap bid`ah adalah sesat dan setiap kesesatan berada di api neraka”. (HR. Abu Dawud)
- Semua hadits sohih diterima sebagai dalil dan dasar untuk semua masalah termasuk masalah aqidah baik itu hadits mutawatir atau pun hadits ahad.
As-Salafus sholeh tidak pernah membeda-bedakan antara hadits ahad dan hadits mutawatir, tetapi secara teknis ulama-ulama hadits di kemudian hari telah mengadakan pembagian yang demikian itu. Hadits ahad adalah hadits yang pada salah satu tingkatan perawinya mempunyai bilangan yang tidak sampai derajat mutawatir. Ahlul bid’ah banyak menolak hadits-hadits ahad ini sebagai dalil untuk aqidah dengan alasan hadits ahad tidak sampai pada derajat yakin. Alasan ini tidak diterima oleh Ahlussunnah wal Jama`ah sejak zaman Rosululloh ﷺ sampai akhir zaman. Alasan seperti ini dilahirkan oleh kaidah-kaidah filsafat.
Semua ulama salaf dan kholaf sejak zaman sahabat rodhiyallohu’anhum dan zaman kita ini telah berijma’ menerima hadits ahad sebagai dalil untuk semua sisi agama Islam termasuk aqidah. Semua Imam-imam sunnah semasa sahabat rodhiyallohu’anhum dan sesudah mereka (seperti empat Imam madzhab: Malik rohimahulloh, Abu Hanifah rohimahulloh, Syafi’i rohimahulloh dan Ahmad bin Hambal rohimahulloh serta Imam Bukhori rohimahulloh, dan Muslim rohimahulloh serta seluruh perawi buku-buku sunan yang empat seperti Tirmidzi rohimahulloh, Abu Dawud rohimahulloh dan lain lainnya) semua mereka tidak membeda-bedakan penggunaan hadits-hadits shohih sebagai dalil untuk seluruh bagian agama Islam baik mutawatir maupun ahad.
- Wahyu dari Alloh ﷻ tidak ada yang bertentangan dengan akal yang bersih.
Kalau terjadi seakan-akan ada pertentangan antara keduanya, maka hal ini disebabkan ketidak jernihan akal yang terkotori hawa nafsu, kelemahan atau kejahilan. Dalam hal seperti ini wahyu harus didahulukan atas akal.
- Ahlussunnah beriman kepada semua khabar-khabar goib yang datang dari Alloh ﷻ melalui al-Qur’an dan as-Sunnah dan tidak mempercayai khabar goib apa pun dari selain keduanya
Dalam manhaj Islami hal-hal goib yang dikhabarkan Alloh ﷻ kepada kita adalah sebagian kecil saja, sedangkan sebagian besarnya tersembunyikan di sisi Alloh ﷻ.
Alloh ﷻ berfirman: “Katakan: (ya Muhammad) tak seorang pun yang mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi selain Alloh dan mereka tidak merasakan kapan mereka dibangkitkan.” (QS. an-Naml [27]: 65)
Rosululloh ﷺ bersabda, “Ya Alloh, aku memohon kepada-Mu dengan segala nama yang Engkau miliki, yang dengan nama itu Engkau namakan diri-Mu atau Engkau ajarkan kepada salah seorang makhluk-Mu atau tetap Engkau simpan dalam ilmu goib di sisi-Mu”. (HR. Imam Ahmad)
Kita dilarang mencoba menambah pengetahuan tentang hal-hal goib dari selain wahyu yang sudah diturunkan kepada kita, seperti misalnya menerka-nerka atau malah mempertanyakannya. Wallohu’alam